Selasa, 04 Agustus 2015

INDONESIA: BANGSA, DAN IDEOLOGI

INDONESIA: BANGSA, DAN IDEOLOGI



Indonesia
Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan mereka untuk Indonesia adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Di tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker\(1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia yang tidak mengandung unsur kata “India”, yaitu dengan nama Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19, lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes, dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom, tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebut pulau-pulau diluar Jawa (Antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Dalam Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa.” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata Nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi Jawa-sentris itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Malayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi modern Nusantara itu. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia-Belanda. Sampai hari ini istilah Nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan kepulauan di Asia Tenggara.
Nama Indonesia dalam Jurnal Ilmiah1
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA),2 dalam JIAEA itu, volume IV, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel “The Ethnology of the Indian Archipelago”. Ia menggunakan nama “Indunesia”, lalu dengan merubah huruf u dengan huruf o agar ucapannya lebih baik, maka lahirlah istilahIndonesia. Saat itulah untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia, sebagaimana tertulis pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
Selanjutnya Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin, Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipelsebanyak lima jilid, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah “Indonesia”di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian.3 Orang pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama “Indonesische Pers-burea”.
Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch(Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917) Sejalan dengan itu, kata inlander (pribumi) diganti dengan Indonesiër (orang Indonesia).
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Secara resminya tanggal 17 Agustus 1945 nama itu (Indonesia) menunjuk kepada:negara, bangsa, dan bahasa.4
Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme
Untuk mengenal dan memahami Indonesia secara menyeluruh, mari kita tinjau pemahaman yang berkembang sejak awal “pergerakan, perjuangan” anak bangsa tersebut. Kita coba telusuri sejarahnya dari masa akhir penjajahan Hindia-Belanda di Nusantara. Kemudian dilanjutkan dengan masa pendudukan Jepang, sampai awal berkobarnya api-revolusi di Indonesia.
Diharapkan, dengan memahami ideologi bangsa ini, dapat membantu kita untuk memahami dan menerima fakta keberadaan serta berdirinya “Tiga Negara” di Indonesia, yaitu Republik Rakyat (Komunis) Indonesia (1948),5 Negara Islam Indonesia (NII, 1949) dan Republik Indonesia Serikat (RIS, 1949). Dengan penjelasan ini pula diharapkan tidak ada pandangan yang mengkorup (menghilangkan) saham serta andil masing-masing aliran atau paham beserta organisasinya dalam revolusi nasional 17 Agustus 1945 yang mengorbankan tidak sedikit jiwa, raga, dan harta bangsa.
Di bawah ini akan dipaparkan “khulashah (ringkasan) sejarah bangkit dan berkembangnya aliran/ideologi dan saluran-pemikiranya”, selama setengah abad, di Indonesia. Semuanya dibentangkan dengan ringkas, berupa tinjauan selayang pandang, tetapi cukup jelas, sehingga pembaca bisa mendapat gambaran utuh atas semua peristiwa yang terjadi di Indonesia. Kita mulai dengan membahas Nasionalisme.
Nasionalisme
Tahun 1905, adalah tahun kemenangan Jepang atas Rusia dan menjadi simbol tahun kemenangan Timur atas Barat. Tahun ini merupakan pembuka halaman baru dalam sejarah dunia, khususnya bagi benua Asia. Berita kemenangan tersebut terdengar dan berkumandang di seluruh Asia, sebagai canang (momentum) pertama, yang membangkitkan bangsa Asia- juga di nusantara Indonesia- dari tidur-panjang selama berabad-abad.
Kepercayaan dan keyakinan lama yang salah dan keliru berserta sifat mental dan tabiat yang merasa hina dan rendah diri atau minder (inferiority complex), beralih menjadi sifat mental yang sebaliknya, yaitu rasa percaya dan yakin diri6 Ia bergerak secara perlahan, berangsur-angsur tapi pasti, sejalan dengan terkuaknya suasana gelap-gulita, yang amat tebal menyelimuti dan menyelubungi benua Asia pada saat itu.
Sementara itu di Tiongkok, Dr. Sun Yat Sen mulai menunjukkan  minatnya yang besar untuk melepaskan bangsa Tiongkok (China) dari kungkungan dan cengkraman imprialisme serta kapitalisme, yang dengan kuat serta megah menancapkan kekuatan dan kekuasaannya atas hampir setiap penjuru kawasan Asia. Sedangkan di Indonesia, kaum terpelajar dan golongan menengah menampakkan kesadarannya atas nasib bangsa dan tanah airnya pada tahapan pertama, yaitu dengan mendirikan suatu perhimpunan kebangsaan, bernama: “Tri Koro Dharmo” (tiga tujuan yang utama) 1908.
Dari tahun ke tahun, benih pertama itu hidup dengan subur di tengah masyarakat menengah ketika itu. Kemudian perhimpunan tersebut berubah corak dan ragamnya menjadi “Budi Utomo”.
Sekitar 22 tahun kemudian tumbuh dan berkembang aliran kebangsaan muda, yang jauh lebih revolusioner, lebih kreatif, lebih realistis dan progresif bahkan kadang-kadang agresif. Yaitu lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI) dibawah kepemimpinan para pemimpin muda yang berapi-api semangatnya. Diantara pemimpin kebangsaan muda ini adalah: Ir Soekarno, Drs. Mohd Hatta, dan Syahrir, yang memegang peranan penting di dalamnya.
Pada akhir tahun 1927 berkembang beberapa perhimpunan politik, diantaranya: PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dibawah pimpinan Haji Omar Syarif (HOS) Cokroaminoto dan H. Agus Salim; Studi-club Surabaya, dibawah pimpinan Dr. Sutomo; Studi-club Bandung; Kaum Betawi, dibawah pimpinan Muhd. Husni Thamrin dll. Dari beberapa perhimpunan politik tersebut berdirilah satu lembaga politik dengan nama: Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, atau PPPKI.
Dengan pesat dan cepat, laksana garuda terbang di angkasa,PNI bergerak mendahului perhimpunan-perhimpunan lainnya yang lebih tua, dan menjadi “pelopor” serta pendorong semangat kesadaran masyarakat nasional Indonesia.
Dengan cerdiknya, pemerintah penjajah Belanda pada waktu itu “membiarkan” letupan jiwa yang menyala-nyala tersebut, sehingga menjadi sebuah gerakan yang menjadi alasan bagi Belanda untuk menangkap, menahan, dan menghukum serta membuang para pemimpin nasional muda saat itu, yaitu Ir. Soekarno, danDrs.Mohd Hatta, beserta kawan-kawannya. Maka selesailah sudah riwayat pertama dari perjalanan aliran kebangsaan muda itu, yang– untuk memudahkan ingatan kita – diberi nama: PNI I (PNI Periode Pertama).
Sebelum kita membahas lebih lanjut, mari kita lihat dulu isi dan inti dari gerakan kebangsaan muda itu, bagaimana ia dapat tumbuh dan berkembang dengan menakjubkan.
Dalam pertemuan-pertemuan umum selalu didengung-dengungkan slogan dari teori yang menarik perhatian dan mendarah daging di sanubari rakyat, yaitu teori tentang Marhainisme, atau dalam sebutan lain: Proletarisme–Kerakyatan (rakyat jelata).Slogan ini sangat sesuai dengan kondisi, semangat, cita-cita dan harapan rakyat jelata (proletar) pada masa itu.
Selain itu, dikumandangkan pula dengan lantang dan tegas: slogan dari teori Sosio-Demokrasi (Kerakyatan menuju Keadilan Sosial), yang hampir mirip dengan pemikiran Nazi-Jerman atau Sosio-Nasionalisme ciptaan Adolp Hitler, atau Fasisme Itali ala B.Mussolini.
Dapat kita gambarkan bahwa Marhainisme itu sebagai “chauvinisme” (nasionalisme sempit) dalam realisasi dan kristalisasinya, juga menunjukkan sifat “anti asing” (anti orang asing dan barang buatan asing). Dari pandangan ini timbullah aksi “ahimsa” atau perlawanan tidak bersenjata (leidelijk verzet) dan usaha “swadesi”  (mencukupkan keperluan sendiri, dengan usaha sendiri). Kedua pandangan ini adalah datang (diimport) dari India, yaitu dari pemikiran Mahatma Ghandi.
Walaupun nasionalisme sempit tersebut (chauvinisme) menimbulkan kebencian dan permusuhan kepada sesuatu yang berbau “asing”, tetapi dari pandangan ini muncul pemikiran yang memberikan jalan keluar lebih terang dan konkrit, yang bersifat inter-asiatisme, biasa disebut: Pan-Asiatisme. Slogan dan semboyan yang sering diperdengarkan dalam hal ini ialah: persatuan antara Naga Barongsai China, lembu Nandi India, Banteng Indonesia dan Matahari Terbit Jepang (di masa pendudukan Jepang, dikatakan: “di bawah sinar Matahari Dai Nippon”). Pan-Asiatisme ini tampaknya dapat dibandingkan dengan Internationale ke-3, untuk kaum Komunis di benua Eropah-Barat.
Perlu juga diperhatikan tumbuhnya satu model ideologi baru, berupa ideologi campuran antara nasionalisme Indonesia (waktu itu: Jawa) dan sosial-demokrat Barat. Yaitu berupa sosial-demokrasi- Indonesia (Indische Sociaal Democratie), dalam tubuh partai “Indische Partij”. Partai ini merupakan perhimpunan assosiasi antara Timur dan Barat, di bawah pimpinan “Tiga Sejoli”: Dr. Cipto Mangunkusumo, Deuwes Dekker (Setiabudi) dan Suwardi Suryaninggrat (Ki Hajar Dewantoro). Aksi yang terutama, ialah: “Indie weerbaar” (pertahanan untuk Hindia).
Beberapa tahun kemudian, setelah suasana politik di Indonesia agak reda, sisa-sisa semangat dan aliran kebangsaan muda yang seperti telah mati atau pingsan (latent), bangun dan bangkit kembali. Kemudian muncul dalam bentuk pergerakan yang sifatnya lunak (moderat), dengan nama:
1. Partai Nasional Indonesia (biasa disebut: PNI II). Namanya sama dengan PNI terdahulu. Karena PNI ini dianggap adik dari PNI I (yang sebelumnya), maka PNI II ini pun berada dibawah “pimpinan tidak langsung” dari Ir. Soekarno yang pada masa itu masih dalam pembuangan.
2. Pendidikan Nasional Indonesia (PNI III). Juga berada di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh terdahulu, yaitu: Drs. Moh. Hatta, Syahrir, dll.
PNI II dan III ini tidak dapat bergerak dan mencapai maksud serta tujuan seperti yang mereka cita citakan secara maksimal karena tidak mampu menghadapi tangan besi pemerintah jajahan Belanda yang menekan dan menindas.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942) dan pemerintah penjajah Belanda lari ke Australia, maka usaha pertama dan utama yang dijalankan tentara pendudukan Jepang, ialah membasmi partai-partai dan perhimpunan-perhimpunan politik, dengan corak dan warna aliran atau fahan apapun. Tidak terkecuali PNI II dan III. Semuanya “dikubur hidup-hidup”, di Hookookai, suatu tempat model “sangkar mas”, yang sudah direncanakan dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh Jepang. Bagi kaum Muslimin disediakan tempat yang bernama“Masyumi” yang merupakan medan bakti ciptaan Jepang.
Saat itu nyanyian lagu Jepang terdengar meriah dan memikat hati. Membawa jiwa manusia ke satu arah yang salah dan palsu, yaitu: persembahan kepada manusia yang diper-tuhan-kan (Tenno Heika), dengan dasar Sintoisme dan Hakko Iciu(impian “Kemakmuran Asia Timur Raya”).
Pada masa itu pula Soekarno-Hatta dkk. mencapai puncak “kemasyhurannya”, terutama sekali setelah Soekarno menciptakan satu “ideologi” baru yang bernama “Pancasila”.7 Yaitu suatu pemikiran berupa semacam “campuran masakan” yang terdiri dari sintoisme, hakko iciu, agama, dan nasionalisme. Dari sisi lain, di kalangan pemimpin Indonesia, yang masih tetap terkurung dalam “sangkar mas” itu, timbulah usaha untuk menentang atau menolak pendudukan Jepang. Mereka berusaha melepaskan rakyat dan bangsa Indonesia dari cengkeraman fasis Jepang. Dalam perkembangan selanjutnya usaha mereka ini menjadi cikal bakal bagi tumbuh-kembangnya gerakan yang amat besar dan dahsyat di zaman revolusi nasional, yang biasa disebut “gerakan bawah tanah”, gerakan gelap, atau gerakan subversif. Di antaranya seperti yang terjadi dalam peristiwa Singaparna, Cilegon, dan Kediri. Sungguhpun peristiwa-peristiwa (pemberontakan) tersebut merupakan usaha yang gagal, tetapi jasanya cukup besar dan berharga sebagai bagian dari rangkaian proses perjuangan sejarah Indonesia. Dapat dikatakan peristiwa itu sebagai titik awal dan garis pertama, yang menggambarkan minat dan hasrat bangsa Indonesia-–terutama ummat Islam—untuk melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan fasis Jepang.
Islamisme
Pada akhir tahun 1911 dan awal 1912, ummat Islam mulai bangun dan bangkit dari tidurnya. Di bawah kepemimpinan Haji Samanhudi dari Solo (kemudian dibantu dan dilanjutkan kepemimpinannya oleh Umar Said Cokroaminoto), didirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), yang kemudian namanya menjadi Sarekat Islam.8
Usaha organisasi ini terutama diarahkan kejurusan sosial dan ekonomi, dengan dasar keagamaan (Islam). Perhimpunan ini bersifat massal, meliputi seluruh Ummat Islam, sehingga pengaruh gerak langkahnya amat besar, serta berkumandang jauh ke seluruh nusantara, dari Aceh hingga ke Marauke.
Setelah Perang Dunia I (1914-1918), kemudian ditandatanganinya Perjanjian Damai Versailles (1919), maka pemerintah jajahan Hindia Belanda menggunakan taktik licin, yaitu meninabobokan bangsa Indonesia, dengan “pemberian hak-hak politik” (walau amat sederhana dan kecil sekali), sehingga dibentuklah Volksraad 9dan badan-badan kenegaraan lainnya. Ini berlaku dimasa Idenburgh, sebagai Gubenur Jenderal di Hindia-Belanda.
Hak berpolitik itu diberikan, sesuai dengan kebijakan pemerintahan Belanda di Eropa ketika itu setelah perang dunia. Tujuannya untuk mencegah kerusuhan atau pemberontakan rakyat di tanah jajahan. Saat itu Belanda sedang konsentrasi mempertahankan negaranya.
Beberapa tahun kemudian, Sarekat Islam beralih sifat dan usahanya, menjadi sebuah perhimpunan politik, berdasarkan keputusan Kongresnya di Madiun (1921): Partai Syarikat Islam Hindia-Timur. Selanjutnya, 8 tahun kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (1929, Kongres di Jakarta) dengan sendi-dasar yang lebih kuat dan teguh, serta program politik, ekonomi dan lain-lain yang lebih luas.
Bersamaan dengan itu Sarekat Islam mengalami perpecahan dari dalam dengan masuknya (infiltrasi) paham Komunis sehingga terbelah menjadi Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarekat Islam menjadi dua partai politik yang bertentangan satu sama lain, yakni: Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karena tekanan pihak pemerintah jajahan Belanda atas kaum pergerakan pada umumnya, maka sikap lunak beralih menjadi keras, sikap ko (co-operation)menjadi non-ko (non-co-operation). Mereka keluar dan memisahkan diri dari badan-badan perwakilan yang dibentuk pemerintah jajahan Belanda pada waktu itu.
Sewaktu keadaan politik di Indonesia agak panas dan hubungan antar kaum pergerakan–-terutama PSII-–menjadi tegang, maka terdengar kabar (meski sayup-sayup, tapi cukup jelas dan terang) bahwa telah terjadi kudeta (coup d’etat) kaum Wahabi, dengan pimpinan Abdul Aziz ibnu Saud, dari tangan Syarif Husain, di Jazirah al-Arab (1925). Kemenangan kaum Wahabi dan beralihnya kekuasaan negeri Arab dari Syarif Husain kepada Abd. Aziz Ibnu Saud, tidak sedikit pengaruhnya bagi perhimpunan dan pergerakan Islam di Indonesia.
Dengan segera Ummat Islam di Indonesia mempersatukan diri di dalam suatu “permufakatan” (federasi), sebagai suatu blok Islam. Mereka mengirim utusan ke negeri Arab, yakni Umar Said Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur (masing-masing dari PSII dan Muhammadiyah). Kesempatan itu dipergunakan untuk menyelenggarakan sebuah Kongres Seluruh ‘Alam Islam, dan umat Islam Indonesia pun menjadi salah satu anggotanya, dengan nama: Mu’tamar al-‘Alam al-Islamy far’u al-Hindi asy-Syarqiyyah (MAIHS), Konggres Alam Islam Cabang Hindia-Timur.
Ikhtiar ummat Islam Indonesia memasuki jurusan Pan-Islamisme ini gagal, disebabkan besarnya halangan dan rintangan, saingan dan tantangan pihak imperialis (terutama Inggris). Di samping itu, ummat Islam sendiri belum cukup besar kesadaran dan himmahnya (semangatnya) untuk melaksanakan dan mewujudkan Pan-Islamisme itu, meskipun berpuluh-puluh tahun sebelumnya telah dirintis dan disosialisasikan oleh para pemimpin Islam Internasional seperti Jamaluddin al-Afghany, Muhammad Abduh dan Amir al-Husainy.
Setelah gagal dan buntu usaha Islam Internasional yang pertama itu, maka diutus untuk kedua kalinya K. H. Agus Salim ke negeri Arab. Hasilnya adalah terbentuknya sebuah perhimpunan Islam Internasional-–pengganti MAI yang kandas–bernamaAnsharu al-Haramain (Pembela kedua Tanah Suci: Makkah dan Madinah).
Selain jalan keluar melalui Pan-Islamisme, ummat Islam Indonesia (baca: PSII) juga mencari jalan keluar ke jurusan internasional “kiri dan merah-muda” (Sosialis, Sosial-Demokratis yang agak Komunistis). Mereka pun memperoleh hubungan administratif antara PSII dengan liga anti-imperialisme, anti-kapitalisme, dan antijajahan. Lembaga tersebut berpusat di Eropah Barat.
Usaha ini juga gagal, disebabkan antara lain tekanan dari penjajah Belanda. Dengan demikian pergerakan politik, sosial, ekonomi, keagamaan di Indonesia pada waktu itu, tidak banyak mencapai kemajuan, bahkan lesu dan kurang semangat, seakan-akan terdiam (statis).
Pada zaman awal pendudukan Jepang, semua perhimpunan politik Islam dibubarkan, kecuali MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia). Lembaga yang didirikan beberapa tokoh dan organisasi Islam pada September 1937 ini, menjadi semacam lembaga media pertemuan bagi ummat Islam. Lembaga ini oleh pihak Islam muda, pihak revolusioner dan progressif digunakan sebagai sarana untuk menyusun dan mengatur “gerakan bawah tanah” seperti juga yang dilakukan kawan seperjuangan mereka di Hookookai dan badan “kebaktian” lainnya buatan “saudara tua” itu (Jepang). Karena dianggap politis (anti penjajah), MIAI dibubarkan Jepang yang kemudian menggantinya dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada 24 Oktober 1943. Lembaga ini dimaksudkan oleh Jepang sebagai salah satu sarana untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia bagi kepentingan Jepang.10
Benih-benih subversif, di masa “sangkar mas” Jepang–yang sesungguhnya merupakan kamp konsentrasi (tawanan) yang halus- di kemudian hari pada saat menghadapi revolusi nasional, menjadi pendorong dan daya-kekuatan bagi gerakan kemerdekaan yang hebat.
Konsep Ad-Daulah al-Islamiyah11
Untuk melengkapi pengetahuan kita tentang ideologi Islam, kita coba paparkan paham dari konsep (aqidah) ad-Daulah al-Islamiyah (Disingkat dengan DI). Konsep ini secara tertulis telah ada dalam buku-buku yang diterbitkan PSII, yaitu cita-cita mendirikan Kerajaan Allah di bumi12, yakni bumi Allah (Indonesia), yang berbentuk Negara Islam, dimana Ummat Islam dapat melaksanakan Syariah Islam dengan sempurna.
PSII dalam rapat-rapatnya dan juga brosur serta tulisan lainnya telah merumuskan cara untuk merealisasikan konsep ad-Daulah al-Islamiyah tersebut. Hal ini dapat kita jumpai dalam artikel “Sikap Hijrah PSII” dan “ad-Daulah al-Islamiyah” sejak awal 1930-an. Banyak dari kalangan PSII yang menjadi pendukungnya. Biasanya mereka dipanggil atau digelari sebagai “orang-orang DI” dalam artian orang-orang yang berpaham ad-Daulah-al-Islamiyah.
Konsep DI ini memang dari ajaran ad-Dein, selaras dengan maksud Wahyu-Ilahi (al-Quran), misalnya ayat 44, 45 dan 47 Surah al-Maidah. Demikian juga bahwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, merupakan usaha merealisasikan ad-Daulah al-Islamiyah (pemerintahan Islam). Oleh sebab itu, setiap Muslim dituntut agamanya untuk menerima dan membenarkan konsep ad-Daulah al-Islamiyah, walaupun kemudian dia lebih memilih untuk menetap dan tinggal di wilayah yang dikuasai kafir (Dar ul-Kuffar).
Disamping itu, ada juga istilah singkatan DI yang cukup popular digunakan di zaman itu, yang merujuk kepada arti Darul Islam. Istilah ini tepatnya bukan merupakan “konsep” tapi lebih menjurus kepada pembahasan dalam disiplin Ilmu-Fiqh (Perundangan Islam), dalam bab “politis-teritori”, yaitu untuk membedakan antara kawasan (wilayah) yang dikuasai Pemerintahan Islam, disebut Darul-Islam, dan kawasan yang dikuasai Pemerintahan Kafir disebut sebagai Darul-Kuffar. Sedangkan kawasan yang diperebutkan kedua belah pihak dinyatakan sebagai Darul-Harb. Tampaknya
kedua istilah DI tersebut biasa digunakan pada zaman pergerakan kemerdekaan ketika itu.
Komunisme
Revolusi komunis Rusia, akhir perang Dunia pertama (1917), adalah salah satu patok (babakan sejarah) maha penting dalam sejarah dunia, terutama mengenai perkembangan komunisme Internasional. Segera setelah selesai Perang Dunia I (1919), agen-agen komunis internasional, dengan pimpinan langsung dari Rusia-Internasionale III–menyebar dan menyelusup ke hampir setiap negara di seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Dalam penyebaran dan perkembangan komunisme di Indonesia antara lain perlu dicatat nama beberapa orang Belanda, seperti: Baars dan Sneevliet.13 Di antara murid-muridnya yang amat setia adalah: Sama’un, Darsono, Marco (Kartodikromo), Alimin, Muso, Aliarham, Tan Malaka dan lain-lain lagi.
Dengan cara menyusupkan komunisme ke dalam jiwa para pemimpin Sarekat Islam pada waktu itu, maka dengan segera perhimpunan tersebut terbelah menjadi dua aliran yang bertentangan satu dengan yang lainnya, sebagai musuh yang tak kenal damai.
Keputusan membuat Partai-Disiplin dalam kongres SI tahun 1921, telah memisahkan dua aliran dan anasir itu, sehingga masing-masing berdiri sendiri dengan bentuk partai politik SI Putih menjadi PSI HT (akhirnya: PSII) dan SI Merah sebagai tempat “aliran merah” di dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sikap pemerintah jajahan pada waktu itu adalah “melihat dan menanti”, sedangkan dalam prakteknya menerapkan politik “adudomba” (divede et impera)antara PSII dan PKI dengan diselingi tindakan yang secara “tidak langsung” (indirect): memukul kedua belah pihak. Yaitu dengan membentuk gerombolan dan perkumpulan pengacau, tukang pukul dan tukang tinju yang terhimpun dalam gerombolan Sarekat Hijo, Daf’ ul-Sial, al-Hasanah al-Khairiyah dan lain-lain (di masa belakangan juga muncul gerembolan Cap Jangkar), sebagai alat atau media pengacau yang dibiayai dan dipimpin langsung atau tidak langsung oleh pemerintah jajahan Belanda.
Semangat komunis muda yang berkobar-kobar waktu itu yang berpusat di Semarang, dengan kiblat Moskow, dan dengan petunjuk langsung dari agen-agen Lenin, bertujuan untuk dengan segera dan secepatnya merampas kekuasaan dari tangan pemerintah jajahan Hindia-Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun 1926, dan terkenal dengan nama: Pemberontakan Komunis. Dalam tarikh tercatat sebagai kudeta Komunis yang pertama.
Peristiwa itu sebenarnya terjadi karena provokasi (paksaan yang halus) dari pihak pemerintah jajahan Belanda, beserta agen-agen provokatornya, yang sudah agak lama sebelumnya sengaja diselundupkan ke dalam tubuh pergerakan komunisme Indonesia. Dengan peristiwa tersebut, maka pihak pemerintahan jajahan mempunyai “alasan yang cukup kuat dan sah” untuk membasmi dan membinasakan komunisme di Indonesia.
Beribu-ribu orang, laki-laki perempuan, tua dan muda menjadi korban perjuangan komunisme, dan ada yang dibuang (diasingkan) ke Boven-Digoel. Diantara pemimpin yang ikut dibuang ialah Marco, yang beberapa tahun kemudian meninggal di tanah pengasingan itu.
Adapun pemimpin-pemimpin lainnya, mereka cepat-cepat meninggalkan Indonesia, pergi ke luar negeri, menuju Moskow. Di antara mereka ada yang mendapat “angin baik” hingga bisa sampai di ibu kota komunis itu, sedang sebagian besar lainnya terdampar di tengah jalan (Singapura, Bangkok, Rangoon, Shanghai, dan negara lainnya). Di antara mereka yang melarikan diri itu adalah Tan Malaka, Alimin, Muso, Sama’un, Darsono, dan Subakat.
Kesetiaan mereka kepada organisasi PKI dan induk organisasinya (di Rusia), nyata sekali dan terang benderang di kala mulai berkobar revolusi nasional di Indonesia (1945), terutama setelah revolusi tersebut agak reda. Mereka pulang kembali ke pangkalan semula, kecuali beberapa orang, dan tentunya dengan tugas khusus dari induk-organisasinya.
Sejak waktu itu, hingga berakhirnya pemerintah jajahan Belanda (awal 1942), tidak tampak tanda-tanda, bahwa komunis di Indonesia akan hidup dan bangkit kembali, seakan-akan pingsan kena pukulan yang amat hebat.14
Tiga Negara di Republik Indonesia
Bom atom yang dijatuhkan di kota Hirosima dan Nagasaki, Jepang, oleh Amerika merupakan pertanda berakhirnya Perang Dunia II yang berlangsung selama tiga tahun (1942-1945). Masing-masing pihak yang bertikai ingin menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan peperangan secara cepat dan tepat, yaitu diantara pemenang perang (Sekutu) atau negara-negara yang kalah.
“Dunia baru” tercipta dengan perubahan peta negara-negara di dunia dan sekaligus terbentuk perhimpunan Bangsa-bangsa Bersatu (United Nation, 1946). Saat itu banyak bermunculan negara-negara baru di bekas tanah jajahan Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, Amerika dan lainnya.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan 17 Agustus 1945 di Jakarta, maka setiap golongan dan partai pun bangkit secara serentak untuk turut mempertahankan dan menggalang pembentukan negara baru, yaitu negara Republik Indonesia. Tentunya masing-masing golongan dan partai selalu mengandung maksud dan cita-cita masing-masing yang tersembunyi, yakni: mengedepankan dan memperjuangkan ideologi masing-masing partai.
Proklamasi Nasional ini merupakan tonggak dari mulainya sebuah revolusi nasional. Gaungnya sampai ke seluruh nusantara.Membakar semangat rakyat ikut menggelorakan revolusi. Semua aliran dan lapisan ikut serta dengan kadar kekuatan dan kesempatannya. Tidak ada pengecualian, dan memang tidak mungkin ada. Semuanya ikut serta, kalau bukan karena kesadaran, setidaknya karena takut dituduh anti-revolusi atau kontra-revolusi, atau didakwa sebagai agen imperialisme atau agen provokator (Belanda).
Lazimnya negara yang baru lahir dari rahim sebuah revolusi, sudah pasti menghadapi berbagai ujian, baik dari pihak penjajah lama (Belanda) ataupun dari bangsanya sendiri. Ujian dan tantangan itu tidak sedikit menuntut korban harta dan nyawa. Selain itu dalam sejarah Indonesia juga mencatat telah berdiri tiga negara yang berlainan ideologi dan cita-citanya.
Kaum komunis menganggap, bahwa kemerdekaan Indonesia hanya merupakan“tangga” menuju “Republik Sovyet di Indonesia”. Dan bagi kaum Muslimin selalu tertanam keyakinan, bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan “Jembatan Emas” menuju ke arah Dar al-Islam dan Dar as-Salam.15
Di sini kita akan batasi dengan hanya tiga negara saja, berdasarkan ideologi yang berbeda “jauh”. Masing-masing mempunyai induk organisasi serta basis rakyat pendukungnya. Adapun selain dari tiga negara tersebut dapat kita kategorikan negara yang dibuat oleh bekas penjajah Belanda, seperti Negara Pasundan, Indonesia Timur, Republik Maluku Selatan (RMS). Dan sisanya merupakan negara yang disebabkan oleh sebab-pribadi maupun golongan yang tidak sejalan dengan presiden RI ketika itu, seperti PRRI/Permesta.
Negara yang kita maksudkan ialah: Republik Soviet (komunis) Indonesia,16 Negara Islam Indonesia (NII) dan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Republik Soviet (Komunis) Indonesia
18 September 1948
Sudah diketahui secara umum mengenai cita-cita utama kaum komunis dan partainya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Dari perjalanan sejarahnya yang panjang tercatat beberapa “usaha” yang mereka lakukan dalam bentuk pemberontakan:
  1. Kudeta (pemberontakan) komunis pertama tahun 1926, zaman penjajahan Belanda, merupakan bukti nyata keinginan mereka.
  2. Kudeta kedua, di masa revolusi nasional tengah bergelora. Peristiwa ini terjadi di Banten, awal tahun 1947.
  3. Usaha perampasan kekuasaan ketiga kalinya, agak besarbesaran, dengan kekuatan senjata, semasa RI berpusat di Jogyakarta. Pemberontakan ini berlangsung tidak lama setelah kudeta kedua yang gagal.
  4. Kudeta keempat yang dikenal sebagai “Madiun Affaire”.17 Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Republik Soviet (Komunis) Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan dukungan Menteri Pertahanan ketika itu. Republik ini hanya dapat bertahan 10 hari (2 minggu), dan berakhir dengan tewas pimpinannya. Lalu sebelas pimpinan kelompok kiri ini dieksekusi, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI yang dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.18
  5. Kudeta ke lima tercatat tahun 1949 dan seterusnya hingga yang terakhir yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S).19
Ada beberapa sebab utama kegagalan kaum komunis di Indonesia dalam upaya untuk mendirikan negara komunis, diantaranya:
  1. Kaum komunis dan partai-partainya sangat agresif dalam mencapai cita-citanya tanpa memperhitungkan korban jiwa
    manusia atau harta rakyat. Bagi mereka, korban dalam rangka mencapai yang “lebih baik” dari cita-cita mereka, hanyalah angka-angka belaka.
  2. Paham (ideologi) komunis yang anti Tuhan tidak mempunyai akar dalam budaya bangsa Indonesia, dimana penganut Islam merupakan mayoritas.
  3. Kaum komunis tidak segan membinasakan kawan seiring sejalan atau sanak saudara sebangsa yang mereka anggap sebagai penghalang perjuangan partai
Untuk keperluan dalam tulisan ini kudeta ke empat tersebut di atas yang berusia singkat itu, kita catat dan kita nilai sebagai fakta telah “terwujudnya” negara komunis di Indonesia. Pemberontakan tersebut mengorbankan orang-orang sipil, militer, dan alim-ulama bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar